IBNU RUSYD:
MEMPERTEMUKAN
AGAMA, FILSAFAT DAN SAINS
by Nurul Wahdah
A.
Pendahuluan
Berfilsafat adalah bagian dari
peradaban manusia. Semua peradaban yang pernah timbul didunia pasti memiliki
filsafat masing – masing. Kenyataan ini juga sekaligus membantah pandangan
bahwa yang berfilsafat hanya orang barat saja, khususnya orang yunani. Diantara
filsafat yang pernah berkembang, selain filsafat yunani adalah filsafat Persia,
Cina, India dan tentu saja filsafat islam.
wacana tentang pemaduan
antara agama dan filsafat termasuk salah satu obyek kajian yang menjadi
tuntutan lingkungan Islam terutama menurut para filosof. Para filosof Islam
sebenarnya mempercayai bahwa agama adalah suatu kebenaran yang tidak dapat
diragukan. Dan mereka menghormati nilai-nilai serta prinsip-prinsipnya. Namun
mereka juga percaya akan keluhuran dan orisinalitas filsafat. Oleh karenanya, mereka tidak ingin
mengorbankan filsafat karena agama dan tidak ingin membunuh agama demi
filsafat. Untuk itu, tidak ada jalan lain kecuali berupaya memadukan agama dan
filsafat serta menyingkirkan hal yang nampak bertentangan (paradoks) di antara
keduanya. Ini berarti bahwa ide sinkretisme secara esensial adalah suatu
keharusan bagi mereka, selama mereka berpegang teguh pada filsafat dengan tanpa
mengurangi keteguhan mereka dalam memegang Islam serta meletakkan filsafat pada
posisi yang sejajar dengan Islam
Agama dan Filsafat sebenarnya tidak
pernah bertentangan. Keduanya bagaikan saudara sesusuan yang menyusu dari satu
sumber. Kebenaran tidak bertentangan kebenaran yang lain. Dengan
berfilsafat/bernalar, pengetahuan sains dapat ditelusuri dimana hasil
pengetahuan berupa sains ini juga menunjukkan sebuah kebenaran.
Seorang Ibn Rusyd datang di tengah-tengah penguasaan dogma agama dan
pertentangan besar agama (wahyu) dan filsafat (akal). Dia merekonsiliasikan
antara agama dan wahyu atau mempertemukan pertentangan tersebut dengan
mengemukakan argument-argumen yang dapat diterima akal dan kaum agamawan.
Persamaan tujuan dalam pencarian kebenaran menjadi senjata dalam menemukan
benang merah pertentangan agama dan filsafat. Sebagai agamawan Islam, Ibn Rusyd
dalam filsafatnya mengetengahkan justifikasi Alquran (agama) terhadap filsafat
yang sebelumnya ditolak..[1] Lebih lanjut, makalah ini akan membahas tentang pemikirin Ibnu Rusyd dalam
usahanya memadukan antara filsafat, agama dan sains.
B.
Biografi Ibnu Rusyd
Biografi Nama lengkap Ibnu
Rusyd, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan di Cordova sebuah kota di Andalus. Ia
terlahir pada tahun 510 H/1126 M, Ia lebih populer dengan sebutan Ibnu
Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan sebuah nama Averrois. Keluarga Ibn Rusyd
sejak dari kakeknya, tercatat sebagai tokoh keilmuan. Kakeknya menjabat sebagai
Qadhi di Cordova dan meninggalkan karya-karya ilmiah yang
berpengaruh di Spanyol, begitu pula ayahnya. Maka Ibn Rusyd dari kecil tumbuh
dalam suasana rumah tangga dan keluarga yang besar sekali perhatiannya kepada
ilmu pengetahuan. Ia mempelajari kitab Qanun karya Ibn Sina dalam
kedokterandan filsafat di kota kelahirannya sendiri.[2] Menurut
Abu Marwan al-Baji bahwa Ibnu Rusyd adalah orang yang memiliki kejernihan
pandangan dan ketajaman nalar, serta jiwa yang kokoh. Ibnu rusyd juga belajar
banyak hal, termasuk ilmu kedokteran pada Abu Ja’far Ibnu Harun.[3]
Ibnu Rusyd hidup dalam
dua masa politik yang berbeda, yaitu masa dinasti al-Murabithun yang kemudian
digulingkan oleh golongan al-Muwahhidun di Marakusy tahun 1147 M[4].
Di antara penguasa Muwahhidun adalah Abu
Yakub Yusuf dan Yusuf al-Mansur. Dua penguasa ini tidak hanya tangguh secara
politik dan militer tetapi juga dekat dengan kaum cendekiawan dan cinta pada
pengetahuan. Ibnu Rusyd dikenalkan
kepada dua penguasa ini oleh Ibnu Tufail seorang tokoh filsafat dan sains yang
dekat Abu Yakub Yusuf dan Yusuf al-Mansur. Kedua penguasa inilah yang
melindungi dan mendorong proses penterjemahan dan pemikiran filsafat, khususnya
filsafat Aristoteles, di Andalusia. Pada
masa dua penguasa ini, secara politis
Ibnu Rusyd berada pada masa-masa kebesaran dan kejayaan Islam, meski ia
mengalami situasi buruk saat peralihan kekuasaan.[5]
Pada tahun 1169 M Ibnu
Rusyd diangkat sebagai hakim di Seville, suatu kota yang kemudian menjadi ibu
kota Andalus. Pengangkatan tersebut agaknya berkaitan dengan kedekatannya
dengan khalifah di samping kemampuannya dalam bidang hukum. Pada tahun 1179 M,
ia ditunjuk kedua kalinya sebagai hakim di Seville dan tiga tahun kemudian,
tahun 1182 diangkat sebagai hakim agung di Kordoba. Beberapa bulan setelah berkonsentrasi pada
tugas tersebut, ia piandah ke Marakesy untuk menggantikan Ibnu Tufail sebagai
dokter pribadi khalifah.[6]
Ketika Ibn Tufail
memasuki usia senja tahun 1182 M., Ibn Rusyd (dalam usia 56 tahun)
menempati jabatan sebagai dokter pribadi Sultan Ya’qub di istana Marakish. Sebagai seorang filosof pengaruhnya
dikalangan istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan fukaha. Bahkan ia dituduh
membawa filsafat yang menyeleweng dari ajaran –ajaran Islam, Sebagai akibatnya
ia ditangkap dan dan diasingkan ke suatu tempat bernama Lucena daerah Cordova.
Tindakan kaum ulama dan fukaha tidak hanya sampai di situ, bahkan membawa
pengaruh yang menyebabkan kaum filosof tidak disenangi lagi. Semua buku Ibn
Rusyd diperintahkan untuk dibakar, kecuali mengenai ilmu-ilmu kedokteran,
matematika dan astronomi. Ia pun diumumkan keseluruh negeri sebagai penyeleweng
dan menjadi kafir. Setelah Ibn Rusyd dipindahkan ke Maroko dan meninggal
di sana pada tahun 1198 dalam usia 72 tahun.[7]
Untunglah masa getir yang dialami Ibnu Rusyd ini
tidak berlangsung lama (satu tahun). Pada tahun 1197 M, khalifah mencabut
hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Namun, Ibnu Rusyd tidak lama
menikmati keadaan tersebut dan ia meninggal pada 10 Desember 1198 M/ 9 Shafar
595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun
menurut perhitungan tahun Hijrah.[8]
C.
Logika
dan Filasafat ditinjau dari Hukum Syari’ah
Filsafat menghadapkan kita kepada suatu realitas perenungan terus
menerus atas kebenaran, visi jelas cahaya utama dengan melepaskan ikatan dunia.
Oleh karena itu agama menetapkan syarat mutlak yang paling mudah dilaksanakan
dan diberikan kepada manusia, asal tidak melanggarnya. Ibnu Rusyd dengan
pemurniaan pemikirannya dalam segala bidang intelektual, berusaha
mengkorelasikan antara agama dan filsafat tanpa melalui mekanisme peleburan
antara keduanya.
Menurut Ibnu Rusyd, agama dan
filsafat merupakan saudara sesusuan dari satu ibu yang bernama kebenaran.
Keduanya mempunyai tujuan yang sama dengan perantara yang beda. Tidak mungkin
kebenaran yang ditemukan melalui pemikiran filsafat berseberangan dengan
kebenaran wahyu Tuhan.[9]
Hal ini juga memberi penjelasan bahwa kesibukannya dengan filsafat tidaklah membuat aqidah dan agamanya menjadi rusak. Sebab filsafat tidaklah
bertentangan dengan agama, sedang agama
tidak mengingkari filsafat, bahkan justru menganjurkan dan menyerukannya,
karena agama memerintahkan untuk meneliti dan merenungkan alam rayaa (al falaq,
kosmos), jiwa-jiwa, wujud-wujud ( eksistensi ). Secara umum berfilsafat itu tak
lain adalah meneliti wujud-wujud dari sisi penunjukannya atas adanya Pencipta.[10]
Pertentangan antara keduanya hanya muncul ketika agama dan filsafat tidak mampu
dipahami dengan baik. Yaitu ketika retorika penyampaian kebenaran dalam agama
tidak mampu dipahami secara tepat karena melakukan pentakwilan yang tidak
argumentatif demonstratif serta ketika premis dalam filsafat tidak dapat
dimengerti dengan benar. Keduanya
memiliki kebenaran masing-masing. Kebenaran yang ditemukan filsafat dan agama
hanya bisa diketahui melalui piranti yang dibangun oleh Agama dan filsafat itu sendiri. Filsafat tidak diperbolehkan
mentakwil dasar-dasar agama, sebagaimana pemikiran agama tidak bisa dihakimi
melalui piranti yang ada di luar agama.[11]
Menurut Ibnu Rusyd, tidak ada konflik antara agama dan filosofi,
bukan bahwa mereka adalah cara mencapai kebenaran yang sama. Ia percaya pada
keabadian alam semesta. Dia juga menyatakan bahwa jiwa dibagi menjadi dua
bagian, satu individu dan satu Tuhan, sedangkan setiap jiwa adalah tidak kekal,
semua manusia di tingkat dasar dan berbagi satu sama ilahi jiwa. Ibnu Rusyd
mempunyai dua jenis Pengetahuan tentang kebenaran. Pertama adalah pengetahuan-Nya
kebenaran agama yang berdasarkan iman dan dengan demikian tidak dapat diuji,
dan tidak melakukan itu memerlukan pelatihan untuk memahami. Kedua
pengetahuan tentang kebenaran adalah filosofi yang dilindungi undang-undang
untuk beberapa elit intelektual yang memiliki kemampuan untuk melakukan kajian
ini.
Ibn Rusyd menggunakan teori emanasi sebagai dasar pergulatan pemikirannya
untuk memahami relasi antara alam dan Tuhan. Dalam teori emanasi ini, Ibn Rusyd
berangkat dari pemahaman bahwa salah satu sifat Tuhan yang hakiki adalah kesempurnaan-Nya dan
keesaan-Nya. Tuhan yang Esa inilah yang mengemanasikan alam semesta karena
kesempurnaan-Nya. Kesempurnaan dan ke-Esa-an Tuhan itu harus dilihat dari sisi
perbuatan-Nya sejak azali. Karena kalo tidak dipahami demikian, maka ada saat
di mana Tuhan harus mengatur pada zaman tertentu, sebelum Dia memutuskan diri
untuk menciptakan alam semesta ini. Tuhan yang mengatur rupanya susah
terbayangkan oleh Ibn Rusyd.Terkait dengan ke-Esa-an Tuhan, Ibn Rusyd memahami
bahwa yang melimpah dari Tuhan yang Esa tidak harus satu, tetapi juga lebih
dari satu.[12]
Untuk mendukung pendapatnya ini, Ibn Rusyd mengungkapkan perbedaan mendasar
antara Tuhan dengan manusia dalam
melakukan suatu aktivitas/perbuatan. Ibn Rusyd mengatakan sesungguhnya ada
perbedaan antara Pembuat Pertama (Tuhan) dengan pembuat yang nyata (manusia).
Dalam proses penciptaan, alam semesta ini melimpah dari Tuhan yang Esa. Tuhan
tidak hanya melimpahkan yang satu saja, tetapi terdapat multiplisitas limpahan
yang terjadi, sebagai efek multiple dari tindakan Tuhan yang Esa itu. Menurut
Ibn Rusyd, tindakan Tuhan semacam itu harus dibedakan dengan tindakan manusia.
Manusia hanya mungkin melakukan sekali tindakan dengan satu efek tindakan yang
telah dibuatnya. Tetapi untuk Tuhan, dengan sekali tindakan, dapat menghasilkan
beragam efek dari tindakan yang telah diperbuat-Nya. Dengan alasan ini,
akhirnya Ibn Rusyd menolak pemahaman para pemikir teori emanasi pada umumnya
yang menyatakan bahwa dari yang Satu, Esa, hanya melimpah satu. Ibn Rusyd
sekali lagi secara tegas mengatakan bahwa Tuhan dalam keharusan-Nya menyebabkan
segala sesuatu secara serentak, tanpa ada perantara lain selain Dia. Dalam
bukunya, Tahafut-al-Tahafut, Ibn Rusyd menunjukkan bahwa pembuat yang Esa itu
menyebabkan alam semesta dengan keanekaragaman realitas particular di dalamnya.[13]
Ibnu Rusyd berusaha mempertemukan agama dengan filsafat dengan membela
keduanya. Dalam hal ini Ibnu Rush bertolak pada dua persoalan utama: pertama,
pandangan syari’at terhadap hukum mempelajari logika dan falsafat yang dimaksud
untuk membela filsafat, dan kedua, metode memahami Al-Qur’an sebagai
sumber asasi syari’at yang dimaksud untuk membela syariat. Untuk menjawab kedua
persoalan tersebut, Ibnu Rusyd menelusuri ayat-ayat al-Qur’an tentang hukum
bagaimana mempelajari logika dan filsafat. Dia menemukan bukti beberapa ayat
yang menyerukan penggunaan akal untuk meneliti secara rasional argumentatif
mengenai realitas materiil maupun nonmateriil sebagai representasi kreasi
Tuhan. Berdasarkan penemuan tersebut, Ibnu Rusy menyimpulkan bahwa syari’at
menganjurkan manusia untuk mempelajari filsafat dan mencoba menggunakannya
dalam meneliti realitas. Hal ini sejalan dengan argument filsafatnya yang
berpijak pada realitas alam nyata menuju realitas alam tidak nyata. Semakin
mendalam pemahaman filsafat seseorang, semakin dalam pula dia Tuhan karena
realitas merpakan reperesentasi kreasi Tuhan.[14]
Ibnu
Rusyd membedakan antara logika dan filsafat. Logika diposisikan sebagai alat
filsafat, sedangkan filsafat diposisikan sebagai hasil dari kreasi logika.
Penegasan ini sejalan dengan pandangannya Aristoteles yang menjadikan logika
sebagai alat filasafat, bukan sebagai bagian dari disiplin filsafat. Itu terlihat dari konsepnya tentang pembagian
ilmu pengetahuan. Aristoteles membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga jenis,
yaitu pengetahuan praktis, pengetahuan teoritis, dan pengetahuan produktif.
Pengetahuan pertama meliputi etika dan politik, pengetahuan kedua meliputi
fisika, metafisika dan matematika, dan pengetahuan ketiga meliputi pengetahuan
yang menghasilkan karya tehnik produktif.[15]
Ibnu
Rusyd menggunakan sudut pandang “hukum syar’iat” dalam melihat status logika
dan filasafat. Hukum syari’at yang dimaksud adalah hasil ijitihat para ahli
hukum Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber syariat, terkait dengan perbuatan
mukallaf yang pada umumnya berkisar pada hukum wajib, sunah, mubah, makruh dan
haram. Ini terkait dengan tujuan penulisan buku Fashal al-Maqal, yaitu: untuk meneliti dari sudut pandang syari’at
apakah penalaran (an-nazhr) dalam filasafat dan ilmu-ilmu logika itu mubah
hukumnya, dilarang, atau diperintahkan, baik perintah yang bersifat sunnah
ataupun perintah yang bersifat wajib.
Di
dalam Al-Qur’an, banyak didapati ayat-ayat yang menyuruh manusia mengetahui
Allah melalui penalaran dan perenungan terhadap alam. Yang dimaksud perenungan
dan penalaran di sini adalah logika dan filsafat. Ibnu Rusyd menampilkan
ayat-ayat yang berbicara tentang hal tersebut, yaitu pertama, ayat yang
mendorong manusia merenungkan maujud-maujud seperti ayat dalam QS al-A’raf (7): 185 yang artinya”Apakah
mereka tidak memperhatikan segala yang ada di langit dan bumi dan segala
sesuatu yang diciptakan Allah”, QS al-Ghasyiyyah (88): 17 “Apakah mereka
tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan serta bagaimana langit
ditinggikan”, di QS Ali Imran (3): 191 “Dan mereka (orang-orang mukmin)
memikirkan kejadian langit dan bumi”, kedua, ayat al-Qur’an yang menganjurkan penggunaan
akal dalam merenungkan maujud-maujud seperti ayat “Maka berpikirlah
wahai orang-orang yang berakal budi”, dan “Maka ambillah ibarat wahai
ulil abshar”. Ungkapan “berpikirlah kalian” menandakan keharusan penggunaan
akal. Begitu pula dengan kalimat “ambillah i’tibar” kata i’tibar menurut istilah para ahli
kalam dan fuqaha disebut qiyas. Mengambil i’tibar dari sesuatu yang
sudah diketahui kepada sesuatu yang belum diketahui. Menurut Ibn Rusyd yang dimaksud dengan akal
dalam ayat-ayat al-Qur’an tersebut berkaitan dengan “aktivitasnya”, yakni
penggunaan metode berpikir qiyas rasional ( qiyas demonstratif ) dan qiyas
syar’i (qiyas sederhana, yakni mengukur sesuatu yang tidak ada hukumnya). Dia memandang wajib hukumnya menggunakan kedua
metode berpikir logis berdasar syari’at.[16]
Dalam
pemikiran Ibnu rusyd, ayat-ayat al-Qur’an tak ubahnya seperti alam natural.
Dalam alam natural, apa yang diterima oleh panca indera tidak sepenuhya
kebenaran mutlak. Adakalanya hal ini tidak seiring dengan pembuktian ilmiah.
Dalam konteks semacam ini, maka kebenaran yang harus diterima oleh orang yang
mampu melakukan pembuktian tersebut adalah informasi yang diperoleh melalui
nalar demonstratif, bukan apa yang telah diberikan langsung oleh panca indera.
Sebab apa yang diberikan oleh panca indera terkadang menyesatkan dan menyeret
pada kemungkaran. walaupun demikian, mempublikasikan informasi yang diperoleh melalui
nalar demonstratif kepada masyarakat umum adalah perbuatan yang menyalahi etika
intelektual. Masyarakat umum tidak mampu mencerna argumentasi deminstratif
dengan baik sehingga argumentasi tersebut tidak akan membawa kejelasan kepada
mereka, dan justeru sebaliknya akan membawa pada keraguan. [17]
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa mempelajari
filasafat bagi orang yang memiliki kemampuan meneliti alam secara
demonstratif adalah wajib hukumnya
menurut syar’i.[18]
Secara
metodologis, filasafat dan syariat sama-sama menjadikan dalil al-Qur’an mendorong masyarakat menggunakan
akal dalam mengkaji mawjud dalam bentuk metode qiyas rasional dan qiyas syar’i.
Begitu juga ada kesamaan dalam tujuan keduanya. Filsafat teoritis bertujuan menumbuhkan
keyakinan mendalam terhadap persoalan-persoalan teoritis terutama terkait
dengan pengetahuan terhadap wujud mutlak misalnya ilmu tauhid sedangkan
filsafat praksis bertujuan untuk memperbaiki kehidupan praksis manusia dan
menemukan kebenaran tentang suatu perkatra yang eksistensinya berhubungan
dengan manusia agar mencapai sesuatu yang lebih baik dalam kehidupan praktis.
Adapun syari’at, Ibnu Rusyd menilai
terdapat dua ajaran didalamnya, yaitu: pertama, ajaran bersifat
teoritis, di sini syari’at membahas persoalan-persoalan teoritis seperti
mengetahui Tuhan sebagai wujud mutlak dan keberadaan wujud-wujud lainnya dari
wujud mutlak. Tujuan ajaran yang bersifat teoritis ini adalah untuk menumbuhkan
keyakinan mendalam pada diri manusia akan wujud mutlak dan unsur-unsur lainnya
yang berkaitan denganNya. Kedua, ajaran yang bersifat praktis. Di sini
syari’at menganjurkan manusia untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan yang bisa
membawanya ke arah kebahagiaan dan menjauhi kesengsaraan. Ajaran praktis
tersebut tentu harus dipandu dengan ajaran yang benar secara teoritis sehingga
amal praktis senantiasa seuai dengan amal teoritisnya.[19]
Dengan
menampilkan kesamaan filsafat dan syari’at, baik dari segi metode, objek dan
tujuannnya, Ibnu Rusyd hendak membuktikan bahwa al-Qur’an sebagai sumber asasi
syari’at sama sekali tidak melarang logika dan filsafat, sebaliknya al-Qur’an
mewajibkan masyarakat yang berkemampuan berpikir demonstratif untuk berfilsafah
dengan merenungi alam nyata agar samapai pada pengetahuan tentang Wujud Mutlak
yang menciptakan alam nyata.[20]
D. Relasi Agama dan Sains
1. Wahyu dan Realitas sebagai Sumber Pengetahuan
Agama dan sains, merupakan dua bagian penting dalam
kehidupan sejarah umat manusia. Bahkan pertentangan antara agama dan sains tak
perlu terjadi jika kita mau belajar mempertemukan ide-ide spiritualitas agama
dengan sains yang sebenarnya sudah berlangsung lama. Kerinduan akan tersintesisnya
agama dan sains pernah diurai Charles Percy Snow dalam ceramahnya di
Universitas Cambridge yang dibukukan dengan judul The Two Cultures yang
menyorot kesenjangan antar budaya, yaitu antara kelompok agamawan yang mewakili
budaya literer dan kelompok saintis yang mewakili budaya ilmiah.[21]
Al-Qur’an merupakan sumber intelektualitas dan spritualitas Islam. Ia merupakan basis bukan hanya bagi
agama dan pengetahuan spritual tetapi bagi semua jenis pengetahuan. Ia
merupakan sumber utama inspirasi pandangan muslim tentang keterpaduan sains dan pengetahuan spritual.
Al-Qur’an bukanlah kitab sains, tetapi ia memberikan pengetahuan tentang
prinsip-prinsip sains, yang selalu dikaitkannya dengan pengetahuan metafisik
dan spritual. Panggilan al-Qur’an untuk “membaca dengan nama Tuhanmu” telah
ditaati secara setia oleh setiap generasi muslim. Perintah itu telah
dipahami dengan pengertian bahwa
pencarian pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah harus didasarkan pada pondasi pengetahuan kita tentang realitas
Tuhan. Menurut Ibnu Sina, sains disebut
sains yang sejati jika ia menghubungkan
pengetahuan tentang dunia dengan pengetahuan tentang prinsip ilahi.[22]
Ilmuwan-ilmuwan muslim akan percaya sepenuhnya bahwa sumber dari segala
ilmu adalah Allah, Tuhan yang sering disebut Sang Kebenar (al-Haqq) atau ada
juga yang menyebutnyaTthe Ultimate Reality (realitas sejati).
Karena tujuan dari ilmu adalah untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya,
yang berarti untuk mengetahui kebenaran sejati, maka Tuhan sebagai kebenaran
sejati tentu merupakan sumber bagi segala kebenaran lainnya. Termasuk kebenaran
atau realitas-realitas ilmu. Dengan demikian, ilmuwan-ilmuwan muslim sepakat
bahwa sumber ilmu atau lebih tepatnya sumber asli/terakhir ilmu adalah Allah
sendiri, Sang Kebenaran. [23]
Ibnu khaldun mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama didasarkan pada “otoritas”,
bukan akal. Yang dimaksud otoritas di sini adalah al-Qur’an dan al-Hadits yang bertindak sebagai tafsir
atasnya. Jadi sumber-sumber ilmu agama adalah kitab suci yang diwahyukan secara
langsung kepada Nabi dan RasulNya. Adapun sumber dari ilmu-ilmu umum adalah
alam semesta yang terhampar luar hingga atom-atom yang sangat kecil. Yang menarik
adalah pernyataan Tuhan sendiri yang memandang baik al-Qur’an maupun alam
semesta sebagai “tanda-tanda (ayat) Tuhan”. Dengan demikian jelas bahwa
ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum sebenarnya sama-sama mengkaji “ayatt-ayat
Allah”, hanya saja yang pertama mengkaji ayat-ayat qauliyah, yang kedua
ayat-ayat kauniyyah. Karena sama-sama tanda (ayat) Allah, keduanya
merujuk atau menunjukkan realitas sejati
yang sama, Allah, sebagai sumber kebenaran. Dialah realitas yang menjadi objek
penelitian setiap ilmu, baik yang bersifat naqliyyah maupun aqliyyah.[24]
Oleh karena itu sebagai tanda-tanda ilahi, alam semesta sebagai
realitas wujud tidak bisa kita pandang sebagai realitas-realitas independen
yang tidak punya kaitan apapun dengan realitas-realitas yang lebih tinggi.
Wahyu dan realitas wujud ini juga yang menjadi sumber pengetahuan menurut
Ibnu Rusyd. Dua bentuk sumber ini masing-masing melahirkan disiplin ilmu yang
berbeda. Realitas wujud melahirkan ilmu dan filsafat sedang wahyu memunculkan
ilmu-ilmu agama. Meski demikian menurut Ibn Rusyd, dua macam sumber pengetahuan
tersebut tidak bertentangan melainkan selaras dan berkaitan karena keduanya
adalah benar dan mengajak kepada kebenaran.[25]
Lihat gambar berikut:
Pengetahuan
Wahyu
Realitas Wujud
Ilmu-ilmu
keagamaan Wujud Rasional Wujud Material
(ma’qulat) (mahsusat)
Filsafat (hikmah) Ilmu (‘ilm)
2. Mempertemukan Wahyu dengan Rasio
Secara umum, Ibnu Rusyd
memaknai wahyu lebih sebagai hikmah (kebijaksanaan) yang diartikan
sebagai”pengetahuan tertinggi tentang eksisitensi-eksistensi spritual”. Melalui
hikmah seorang nabi mampu mengetahui kebahagian hakiki berkaitan dengan
kehidupan akhirat atau kehidupan sesuadah mati. Berdasarkan hal tersebut,
diturunkanlah syari’at kepada manusia
demi mencapai kebahagiaan yang dimaksud. Materi ajaran syariat terdiri
dari dua hal, yaitu: ajaran tentang ilmu benar (al-ilmu al-haq) dan ajaran
tentang perbuatan yang benar (al-‘amal al-haq). Ilmu yang benar adalah ilmu
pengetahuan yang mengenalkan manusia dengan Tuhannya sebagai Dzat yang Maha
Suci dan Maha Tinggi, mengenalkan kepada segala bentuk realitas wujud sebagaimana
adanya terutama wujud-wujud mulia yang bersifat metafisik, dan mengenalkan pada
pahala dan siksa di akhirat. Adapun perbuatan yang benar adalah perbuatan yang
akan membawa kepda kebahagiaan dan menjauhkan dari penderitaan. Perbuatan-perbuatan
yang benar itu sendiri terbagi dua: 1) perbuatan-perbuatan lahir yang bersifat
fisik sebagaimana yang tercantum dalam aturan-aturan hukum fiqh, 2)
perbuatan-perbuatan yang bersifat psikis dan spritual, seperti rasa syukur,
sabar dan bentuk-bentuk moral etika lain yang diajarkan syariat yang kemudian
dikenal dengan prilaku zuhud. [26]
Adapun penalaran
rasional, menurut Ibnu Rusyd tidak akan bertentangan dengan syari’at. Hal ini
dapat terjadi karena penalaran rasional yang sesungguhnya bukanlah sesuatu yang
di luar ajaran syari’at melainkan justeru perintah syari’at. Banyaknya
ayat-ayat yang menyuruh kita melakukan nazdar secara rasional terhadap
bentuk realitas untuk kemudian mengambil pelajaran darinya. Jika demikian, jika syari’at diyakini benar adanya dan kenyataannya ia
memerintahkan pada penalaran rasional
yang akan menggiringi kepada pengetahuan yang benar juga, maka penalaran
rasional tidak mungkin bertentangan dengan syar’at, sebab kebenaran yang satu
tidak mungkin bertentangan dengan syari’at, sebab kebenaran yang satu tidak
mungkin bertentangan dengan kebenaran lainnya, justeru saling mendukung. Karena
itu Ibnu Rusyd menolak keras pendapat al-Ghazali dan orang-orang yang melarang belajar filsafat
dan pemikiran rasional dengan alasan hasilnya akan bertentangan dengan syari’at
atau karena adanya kasus-kasus yang memunculkan penyimpangan. Menurut Ibnu
Rusyd, penalaran rasional yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan mendalam
tidak mungkin menghasilkan sesuatu yang bertentangan. Adapun penyimpangan yang
terjadi pada beberapa orang hanyalah bersifat kasuistik sehingga tidak dapat
digeneralisir. [27]
Dalam membela filsafat,
Ibnu Rusyd berusaha menyatakan bahwa berfikir secara filosofis tidak lebih dari
sekedar memikirkan alam semesta. Secara tegas Allah memerintahkan hambanya
untuk memikirkan alam semesta demi mencapai keimanan yang sempurna. Apabila
memikirkan alam semesta dengan segala isinya merupakan perintah Allah, sedangkan mekanisme yang paling utama
dalam memikirkan itu semua adalah nalar demonstratif, maka nalar demonstratif
tidak mungkin digunakan secara langsung oleh manusia dengan sempurna tetapi dia
memerlukan pembelajaran yang serius terhadap pernak-pernik yang ada didalamnya.[28]
Untuk memahami pernak
pernik dalam pengetahuan tersebut tentunya memerlukan ilmu logika meski ilmu
logika sendiri hanyalah kumpulan metodologi yang berfungsi sebagai perantara
dalam memahami sesuatu. Perantara dapat diambil dari mana saja dan dari siapa
saja. Karena itu mempelajari ilmu logika tidaklah bid’ah lantaran tidak dikenal
di masa Islam pertama. Ushul Fikih merupakan salah satu ilmu yang juga tidak
dikenal pada masa itu. Apabila ilmu Ushul Fikih tidak dianggap bid’ah, maka
ilmu logika juga bukan bid’ah. Dengan
demikian, hukum mempelajari logika yyang identik dengan filsafat dalam
pandangan syari’ah Islam sendiri adalah wajib jika tujuannya sebagaimana yang
dianjurkan syari’ah. [29]
Keyakinan tidak adanya
pertentangan antara hasil penalaran
rasional filosofis dengan wahyu tersebut juga terjadi dalam kaitannya dengan
sains atau ilmu-ilmu kealaman. Menurut Ibn Rusyd, berkaitan dengan sains ini,
syari’at mempunyai dua sikap, yaitu: menjelaskan atau tidak menyinggung sama
sekali. Ketika syari’at tidak menyinggungnya berarti tidak ada masalah.
Keberadaannya sama seperti fenomena hukum yang belum dibicarakan oleh syari’at
yang kemudian menjadi tugas ahli fiqh untuk menyimpulkannya melalui analogi (qiyas
syar’i). Artinya ilmu-ilmu kealaman yang belum dibicarakan syari’at berarti
menjadi tanggung jawab kaum saintist untuk melakukan eksplorasi dan
menguraikannya lewat metode-metode ilmiah. Sebaliknya jika syari’at
menjelaskan, kemungkinannya ada dua,yaitu: sesuai dengan hasil yang diberikan
sains atau bertentangan dengannya. Jika sesuai berarti tidak ada masalah,
tetapi jika bertentangan maka hal itu dapat diseleraskan dengan cara dilakukan
takwil atas makna zhahir yang dikandung syari’at. Di sini Ibnu Rusyd menegaskan penggunaan
takwil hanya untuk orang-orang yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi,
dan tidak boleh boleh disampaikan kepada semua orang lebih-lebih masyarakat
awam karena dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekafiran.[30]
3. Tujuan Pengetahuan untuk mengenal Tuhan
Pengetahuan yang
diperoleh baik lewat ayat-ayat naqliyah maupun aqliyyah, bertujuan untuk
mengenal Tuhan (al-Haqq) Sang Kebenaran. Dalam tradisi filsafat
humaniora klasik, argumen-argumen mengenai keberadaan Allah biasanya berpangkal
pada tiga hingga lima kategori, yaitu: argumen kosmoslogis, argumen ontologis,
argumen teologis , argumen moral dan argumen pengalaman spritual.
Argumen kosmologis yang
pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles dan belakangan diadopsi oleh filsuf
ternama diantaranya al-Kindi, Ibn Rusyd
dan Thomas Aquinus. Rumusan-rumusan ini
pada dasarnya menegaskan bahwa kebenaran dunia dapat ditelusuti dari satu sebab
ke sebab lain dan begitu seterusnya, tetapi penelurusan balik ini tidak dapat
dilanjutkan terus menerus tanpa batas waktu karena harus berhenti pada penyebab
pertama, yakni Tuhan sang Pencipta.
Argumen ontologi berisi bahwa kemampuan manusia Tuhan sang Pencipta
memungkinkan mereka menganggap sesuatu hal terhebat yang bisa dibayangkan.
Namun keberadaan Tuhan dalam realitas lebih superior dibandingkan keberadaannya
dalam pikiran, maka zat yang Agung (Tuhan) harus ada, baik dalam pikiran maupun
realitas. Argumen teologis adalah argumen yang paling sederhana. Gagasan dasar
dalam argumen ini adalah ketidakmungkinan mengamati semua kerumitan, keagungan,
dan keselaran (internal dan relasional) dari semua ciptaan tanpa memikirkan
adanya sesosok pencipta yang kuat dan cerdas dibalik semua ciptaan tersebut.
argumen moral berhubungan dengan dua hal: ‘hukum moral manusia’ dan ‘kemenangan
akhir di pihak yang baik’. Dengan demikian diperlukan Tuhan untuk memberi makna
dan keputusan dalam kehidupan kita. Argumen terakhir, pengalaman spritual
adalah pengakuan terhadap keberadaan beragam pengalaman spiritual yang
dilaporkan manusia. Beberapa pandangan melihat bahwa argumen ini mengarah
kepada keberadaan suatu sumber atau saluran spiritual yang nyata.[31]
Menurut al-Sayyid Sabiq
pengetahuan tentang Allah muncul dari dua pendekatan, yakni dari rasio/eksplorasi
ilmiah dan dari pemahaman yang tepat atas nama-nama atau sifat-sifatnya. Pemikiran rasional mengacu pada banyaknya
perintah Allah untuk merenung (yatafakkaruun, QS 3: 191) dan memahami
(ya’qiluun, QS 2: 242). Sabiq menegaskan bahwa kepercayaan harus muncul dari
pembuktian rasional. Ia juga mengutip argumen-argumen al-Qur’an yang menolak
konformisme (taklid buta) yang merupakan sikap orang-orang kafir. Ia juga
menegaskan bahwa refleksi harus dilakukan terhadap ciptaan dan tanda-tanda
keberadaan Tuhan (alam dan wahyu), bukan
pada Tuhan sendiri.[32]
Kajian ilmu dan sains
juga tidak boleh berhenti pada bentuk dan materi fisiknya melainkan jauh sampai
pada hakikatnya. Menurut Ibnu Rusyd realitas wujud itu terdiri dari tiga
prinsip: materi, bentuk, dan keseluruhan atau gabungan atas materi dan bentuk.
Keseluruhan materi dan bentuk ini bersifat universalitas
(mencakup esensi sekaligus materi). Berdasarkan kajian realitas tersebut,
seseorang akan akan sampai pada Tuhan, mengenal keagungannya dan
kemahakuasaanNya dan pengetahuan tentang Tuhan memang hanya dapat dicapai
dengan mengkaji objek-objek riil alam ciptaannya.[33]
Untuk membuktikan wujud
atau adanya Tuhan, Ibn Rusyd mengajukan tiga dalil: dalil al-Inayah,
dalil al-Ikhtira’ dan dalil al-Harakah. Pada dalil al-Inayah
dinyatakan bahwa apabila manusia dengan akal pikirannya mau memperhatikan alam
semesta ini, maka akan ditemukan adanya persesuaian antara bagian yang satu
dengan bagian yang lainnya. Dengan indah sekali Al-Quran surat al-Naba’ ayat 6
sampai 16 menyatakan betapa teratur dan harmonisnya hubungan antar makhluk yang
bila direnungkan akan menimbulkan keyakinan adanya Pengatur semuanya itu.
Persesuaian dan keteraturan alam semesta ini bukan terjadi dengan sendiri atau
secara kebetulan saja, tetapi menunjukkan adanya Dzat Pencipta dan Pengatur dan
itulah Tuhan Allah.
Dalil al-Ikhtira’
menyatakan bahwa segala kejadian dan setiap jenis dan macam makhluk di dunia
ini terdapat gejala yang berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya. Namun
semuanya berfungsi sebagaimana mestinya. Semakin tinggi tingkatan sesuatu maka
semakin tinggi pula daya kemampuan serta tugasnya. Hal ini mendorong manusia
untuk menyelidiki rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya, sebagaimana
tersurat dalam Al-Quran antara lain dalam surat al-Thariq ayat 5 dan 6. Kesemua
macam aneka ragam yang ada dalam alam semesta ini bukanlah terjadi secara
kebetulan, tetapi memang ada yang menciptakan dan mengaturnya yaitu Tuhan.
Yang ketiga adalah
dalil al-Harakah. Dalil ini jelas sekali adanya pengaruh dari
Aristoteles yaitu tentang Penggerak Pertama (al-muharrik al-awwal) yang
dipandang sebagai Penyebab Pertama(Prima Causa) adanya gerak. Menurut Ibnu
Rusyd, alam semesta ini bergerak secara teratur secara terus menerus dengan
gerakan yang abadi. Gerakan ini menunjukkan adanya penggerak, sebab adal suatu
yang mustahil bila benda bergerak dengan sendirinya. Penggerak Pertama inilah
yang namanya Tuhan, sungguhpun dia sendiri tidak bergerak.
Di antara dalil-dalil
tersebut diatas ada yang persis sama dengan yang dikemukakan oleh Thomas
Aquinas(1225-1274) seperti yang ditulis oleh Harun Hadiwijono dalam bukunya
Sari Sejarah Filsafat Barat I.[34]
Menurut Ibn Rusyd,
pembuktian atau dalil=dalil dari hasil penelitian lebih argumentatif dan lebih
dapat diterima masyarakat, kaum terpelajar maupun umum. Dengan demikian arah
pengetahuan dan sains adalah dalam rangka mengenal eksistensi Tuhan, memahami
keuasaan dan keagunganNya sehingga pengetahuan dan sains akan menambah keimanan
terhadap Tuhan. Validitas sebuah pengetahuan berkontribusi terhadap keimanan
dan pengenalan Tuhan.[35]
E. PENUTUP
Nilai progresifitas
pemikirian Ibnu Rusyd terlihat dari
upayanya menyelesaikan problem antara agama dan filsafat yang ia selesaikan
melalui mekanisme pentakwilan terhadap wahyu Tuhan. Ibn Rusyd memberi
penjelasan bahwa kesibukan dengan filsafat tidaklah membuat aqidah dan agama
menjadi rusak. Sebab filsafat tidaklah bertentangan dengan agama, sedang agama
tidak mengingkari filsafat, bahkan justru menganjurkan dan menyerukannya,
karena agama memerintahkan untuk meneliti dan merenungkan alam rayaa (al
falaq, kosmos), jiwa-jiwa, wujud-wujud ( eksistensi ). Secara umum
berfilsafat itu tak lain adalah meneliti wujud-wujud dari sisi penunjukannya
atas adanya Pencipta. Dengan filsafat,
seseorang memikirkan maujud agar membawa
kepada ma’rifat pada Allah. Al-Qur’an sendiri dengan berbagai ayatnya menganjurkan manusia
untuk bernazhar. Kalau pun terjadi penyimpangan atau kelihatannya ketidakserasian antara zhahir
nash wahyu dengan hasil nazhar (filsafat) itu, maka jalan keluarnya adalah
dengan jalan ta’wil (yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
kemampuan tinggi). Ibnu Rusyd berhasil menempatkan filsafat sebagai bagian dari
keberagamaan yang tidak perlu dipertentangkan. Namun demikian, Ibnu Rusyd tetap
memberikan otoritas kepada wahyu di atas filsafat, sehingga dengan demikian
Ibnu Rusyd sesungguhnya bukanlah rasionalis tulen yang menafikan wahyu.
Melalui agama, filsafat dan pengetahuan
seseorang dapat mengenal keagungan Tuhan dan kekuasaanNYa dan mendapati
kebenaranNya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Maqsud Abdul Ghani Abdul Maqsud, Agama dan Filsafat,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Ahmad Daudy, “Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam”,Jakarta,
Bulan Bintang, 1984.
Aksin
Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rsusyd Kritik Ideologis Hermeneutis
, Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang, 2009.
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta :
Kanisius,1980.
Ibnu Rusyd, Tahafut at-Tahafut Sanggahan terhadap Tahafut
al-Falasifah, ter. Khalifurrahman Fath, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Khudori Saleh, Epistemologi Ibnu Rusyd Upaya Mempertemukan Agama
& Filsafat,Malang: UIN Maliki Press, 2012.
Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2004.
M. Subkhan Anshori, Filsafat Islam antara Ilmu dan Kepentingan, Kediri: Pustaka Azhar, 2011.
Nidhal Guessoum, Islam dan Sains Modern, terj: Maufur, Bandung: Mizan Media Utama,
2011.
Osman Bakar, Tauhid dan Sains Esai-Esai tentang Sejarah dan
Filsafat Sains Islam, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam
Filosof dan Filsafatnya, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Sirajuddin, Filsafat Islam, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi
Filsafat Islam, Semarang; Dina Utama Semarang, 1993.
[1]
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan
Filsafatnya, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h. 255
[2]
Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme, Jakarta: Gaya Media Pratama,
2004 h.
[3] Ibnu Rusyd, Tahafut
at-Tahafut Sanggahan terhadap Tahafut al-Falasifah, ter. Khalifurrahman
Fath, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004,
h. 2
[4] Khudori Saleh,
Epistemologi Ibnu Rusyd Upaya Mempertemukan Agama & Filsafat,Malang:
UIN Maliki Press, 2012,h. 17
[5] Khudori Saleh,
Epistemologi..., h. 23
[6] Khudori Saleh,
Epistemologi..., h. 31
[7]Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi
Filsafat Islam, Semarang; Dina Utama Semarang, 1993, h.86
[9] M. Subkhan
Anshori, Filsafat Islam antara Ilmu dan Kepentingan, Kediri: Pustaka Azhar, 2011, H. 167
[10] Abdul Maqsud Abdul
Ghani Abdul Maqsud, Agama dan Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000,
h. 68
[11] M. Subkhan
Anshori, Filsafat Islam..., h. 167
[12]Ahmad
Daudy, “Segi-segi Pemikiran Falsafi
dalam Islam”,Jakarta, Bulan Bintang, 1984, h. .5-6.
[14] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rsusyd Kritik Ideologis Hermeneutis, Yogyakarta:
PT. LkiS Printing Cemerlang, 2009, h. . 5
[15] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi Al-Qur’an...., h. 75-76
[16] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi Al-Qur’an...., h. 117-118
[17] M. Subkhan
Anshori, Filsafat Islam..., h. 164-165
[18] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi Al-Qur’an...., h. 127
[19] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi Al-Qur’an...., h. 128
[20] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi Al-Qur’an...., h.129
[21] Mehdi
Golshani, Issues in Islam and Science, Institute for Humanities and
Cultural Studies Teheran, Iran, terj. Ahsin Muhammad, Melacak Jejak Tuhan
dalam Sains, Tafsir Islami atas Sains , h 12
[22]Osman Bakar, Tauhid
dan Sains Esai-Esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, Bandung:
Pustaka Hidayah, 1994, h. 74-75
[23] Mulyadhi
Kartanegara, Integrasi Ilmu...., h. 46-47
[24] Mulyadhi
Kartanegara, Integrasi Ilmu...., h. 48
[25] Khudori Saleh,
Epistemologi..., h. 58
[26] Khudori Saleh,
Epistemologi..., h. 81
[27] Khudori Saleh,
Epistemologi..., h. 83
[29] Ibnu Rusyd, Fasl
Maqal...., h. 60
[30] Khudori Saleh,
Epistemologi..., h. 86
[31] Nidhal
Guessoum, Islam dan Sains Modern,
terj: Maufur, Bandung: Mizan Media Utama, 2011, H. 80-81
[32] Nidhal
Guessoum, Islam dan Sains Modern, ....., h. 83
[33] Khudori Saleh,
Epistemologi..., h. 130-131
[35] Khudori Saleh,
Epistemologi..., h. 132-133
Saya sedang mencari referensi terkait seputar materi bahasa arab. Sangat membantu sekali tulisan ini. Semoga bermanfaat.
ReplyDelete