Wednesday, January 25, 2017

IBNU RUSYD: MEMPERTEMUKAN AGAMA, FILSAFAT DAN SAINS



IBNU RUSYD:
MEMPERTEMUKAN AGAMA, FILSAFAT DAN SAINS

by Nurul Wahdah


A.      Pendahuluan
Berfilsafat adalah bagian dari peradaban manusia. Semua peradaban yang pernah timbul didunia pasti memiliki filsafat masing – masing. Kenyataan ini juga sekaligus membantah pandangan bahwa yang berfilsafat hanya orang barat saja, khususnya orang yunani. Diantara filsafat yang pernah berkembang, selain filsafat yunani adalah filsafat Persia, Cina, India dan tentu saja filsafat islam.
wacana tentang pemaduan antara agama dan filsafat termasuk salah satu obyek kajian yang menjadi tuntutan lingkungan Islam terutama menurut para filosof. Para filosof Islam sebenarnya mempercayai bahwa agama adalah suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan. Dan mereka menghormati nilai-nilai serta prinsip-prinsipnya. Namun mereka juga percaya akan keluhuran dan orisinalitas filsafat.  Oleh karenanya, mereka tidak ingin mengorbankan filsafat karena agama dan tidak ingin membunuh agama demi filsafat. Untuk itu, tidak ada jalan lain kecuali berupaya memadukan agama dan filsafat serta menyingkirkan hal yang nampak bertentangan (paradoks) di antara keduanya. Ini berarti bahwa ide sinkretisme secara esensial adalah suatu keharusan bagi mereka, selama mereka berpegang teguh pada filsafat dengan tanpa mengurangi keteguhan mereka dalam memegang Islam serta meletakkan filsafat pada posisi yang sejajar dengan Islam
Agama dan Filsafat sebenarnya tidak pernah bertentangan. Keduanya bagaikan saudara sesusuan yang menyusu dari satu sumber. Kebenaran tidak bertentangan kebenaran yang lain. Dengan berfilsafat/bernalar, pengetahuan sains dapat ditelusuri dimana hasil pengetahuan berupa sains ini juga menunjukkan sebuah kebenaran.
Seorang Ibn Rusyd datang di tengah-tengah penguasaan dogma agama dan pertentangan besar agama (wahyu) dan filsafat (akal). Dia merekonsiliasikan antara agama dan wahyu atau mempertemukan pertentangan tersebut dengan mengemukakan argument-argumen yang dapat diterima akal dan kaum agamawan. Persamaan tujuan dalam pencarian kebenaran menjadi senjata dalam menemukan benang merah pertentangan agama dan filsafat. Sebagai agamawan Islam, Ibn Rusyd dalam filsafatnya mengetengahkan justifikasi Alquran (agama) terhadap filsafat yang sebelumnya ditolak..[1] Lebih lanjut, makalah ini akan membahas tentang pemikirin Ibnu Rusyd dalam usahanya memadukan antara filsafat, agama dan sains.
B.            Biografi Ibnu Rusyd
Biografi Nama lengkap Ibnu Rusyd, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan di Cordova sebuah kota di Andalus. Ia terlahir pada tahun 510 H/1126 M, Ia lebih populer dengan sebutan  Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan sebuah nama Averrois. Keluarga Ibn Rusyd sejak dari kakeknya, tercatat sebagai tokoh keilmuan. Kakeknya menjabat sebagai Qadhi  di Cordova dan meninggalkan karya-karya ilmiah yang berpengaruh di Spanyol, begitu pula ayahnya. Maka Ibn Rusyd dari kecil tumbuh dalam suasana rumah tangga dan keluarga yang besar sekali perhatiannya kepada ilmu pengetahuan. Ia mempelajari kitab Qanun karya Ibn Sina dalam kedokterandan filsafat di kota kelahirannya sendiri.[2] Menurut Abu Marwan al-Baji bahwa Ibnu Rusyd adalah orang yang memiliki kejernihan pandangan dan ketajaman nalar, serta jiwa yang kokoh. Ibnu rusyd juga belajar banyak hal, termasuk ilmu kedokteran pada Abu Ja’far Ibnu Harun.[3]
Ibnu Rusyd hidup dalam dua masa politik yang berbeda, yaitu masa dinasti al-Murabithun yang kemudian digulingkan oleh golongan al-Muwahhidun di Marakusy tahun 1147 M[4]. Di antara  penguasa Muwahhidun adalah Abu Yakub Yusuf dan Yusuf al-Mansur. Dua penguasa ini tidak hanya tangguh secara politik dan militer tetapi juga dekat dengan kaum cendekiawan dan cinta pada pengetahuan.  Ibnu Rusyd dikenalkan kepada dua penguasa ini oleh Ibnu Tufail seorang tokoh filsafat dan sains yang dekat Abu Yakub Yusuf dan Yusuf al-Mansur. Kedua penguasa inilah yang melindungi dan mendorong proses penterjemahan dan pemikiran filsafat, khususnya filsafat Aristoteles, di Andalusia.  Pada masa dua penguasa ini,  secara politis Ibnu Rusyd berada pada masa-masa kebesaran dan kejayaan Islam, meski ia mengalami situasi buruk saat peralihan kekuasaan.[5]
Pada tahun 1169 M Ibnu Rusyd diangkat sebagai hakim di Seville, suatu kota yang kemudian menjadi ibu kota Andalus. Pengangkatan tersebut agaknya berkaitan dengan kedekatannya dengan khalifah di samping kemampuannya dalam bidang hukum. Pada tahun 1179 M, ia ditunjuk kedua kalinya sebagai hakim di Seville dan tiga tahun kemudian, tahun 1182 diangkat sebagai hakim agung di Kordoba.  Beberapa bulan setelah berkonsentrasi pada tugas tersebut, ia piandah ke Marakesy untuk menggantikan Ibnu Tufail sebagai dokter pribadi khalifah.[6]
Ketika Ibn Tufail memasuki usia senja tahun 1182 M., Ibn Rusyd (dalam usia  56 tahun)  menempati jabatan sebagai dokter pribadi Sultan Ya’qub di istana Marakish.  Sebagai seorang filosof pengaruhnya dikalangan istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan fukaha. Bahkan ia dituduh membawa filsafat yang menyeleweng dari ajaran –ajaran Islam, Sebagai akibatnya ia ditangkap dan dan diasingkan ke suatu tempat bernama Lucena daerah Cordova. Tindakan kaum ulama dan fukaha tidak hanya sampai di situ, bahkan membawa pengaruh yang menyebabkan kaum filosof tidak disenangi lagi. Semua buku Ibn Rusyd diperintahkan untuk dibakar, kecuali mengenai ilmu-ilmu kedokteran, matematika dan astronomi. Ia pun diumumkan keseluruh negeri sebagai penyeleweng dan menjadi kafir. Setelah Ibn Rusyd dipindahkan ke Maroko  dan meninggal di sana pada tahun 1198  dalam usia 72 tahun.[7]
Untunglah masa getir yang dialami Ibnu Rusyd ini tidak berlangsung lama (satu tahun). Pada tahun 1197 M, khalifah mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Namun, Ibnu Rusyd tidak lama menikmati keadaan tersebut dan ia meninggal pada 10 Desember 1198 M/ 9 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun Hijrah.[8]
C.     Logika dan Filasafat ditinjau dari Hukum Syari’ah
Filsafat menghadapkan kita kepada suatu realitas perenungan terus menerus atas kebenaran, visi jelas cahaya utama dengan melepaskan ikatan dunia. Oleh karena itu agama menetapkan syarat mutlak yang paling mudah dilaksanakan dan diberikan kepada manusia, asal tidak melanggarnya. Ibnu Rusyd dengan pemurniaan pemikirannya dalam segala bidang intelektual, berusaha mengkorelasikan antara agama dan filsafat tanpa melalui mekanisme peleburan antara keduanya.
 Menurut Ibnu Rusyd, agama dan filsafat merupakan saudara sesusuan dari satu ibu yang bernama kebenaran. Keduanya mempunyai tujuan yang sama dengan perantara yang beda. Tidak mungkin kebenaran yang ditemukan melalui pemikiran filsafat berseberangan dengan kebenaran wahyu Tuhan.[9] Hal ini juga memberi penjelasan bahwa kesibukannya dengan filsafat  tidaklah membuat aqidah dan agamanya menjadi rusak. Sebab filsafat tidaklah bertentangan dengan agama, sedang agama tidak mengingkari filsafat, bahkan justru menganjurkan dan menyerukannya, karena agama memerintahkan untuk meneliti dan merenungkan alam rayaa (al falaq, kosmos), jiwa-jiwa, wujud-wujud ( eksistensi ). Secara umum berfilsafat itu tak lain adalah meneliti wujud-wujud dari sisi penunjukannya atas adanya Pencipta.[10] Pertentangan antara keduanya hanya muncul ketika agama dan filsafat tidak mampu dipahami dengan baik. Yaitu ketika retorika penyampaian kebenaran dalam agama tidak mampu dipahami secara tepat karena melakukan pentakwilan yang tidak argumentatif demonstratif serta ketika premis dalam filsafat tidak dapat dimengerti  dengan benar. Keduanya memiliki kebenaran masing-masing. Kebenaran yang ditemukan filsafat dan agama hanya bisa diketahui melalui piranti yang dibangun oleh Agama dan filsafat itu sendiri. Filsafat tidak diperbolehkan mentakwil dasar-dasar agama, sebagaimana pemikiran agama tidak bisa dihakimi melalui piranti yang ada di luar agama.[11]
Menurut Ibnu Rusyd, tidak ada konflik antara agama dan filosofi, bukan bahwa mereka adalah cara mencapai kebenaran yang sama. Ia percaya pada keabadian alam semesta. Dia juga menyatakan bahwa jiwa dibagi menjadi dua bagian, satu individu dan satu Tuhan, sedangkan setiap jiwa adalah tidak kekal, semua manusia di tingkat dasar dan berbagi satu sama ilahi jiwa. Ibnu Rusyd mempunyai dua jenis Pengetahuan tentang kebenaran. Pertama adalah pengetahuan-Nya kebenaran agama yang berdasarkan iman dan dengan demikian tidak dapat diuji, dan tidak melakukan itu memerlukan pelatihan untuk memahami. Kedua pengetahuan tentang kebenaran adalah filosofi yang dilindungi undang-undang untuk beberapa elit intelektual yang memiliki kemampuan untuk melakukan kajian ini.
Ibn Rusyd menggunakan teori emanasi sebagai dasar pergulatan pemikirannya untuk memahami relasi antara alam dan Tuhan. Dalam teori emanasi ini, Ibn Rusyd berangkat dari pemahaman bahwa salah satu sifat Tuhan yang hakiki adalah kesempurnaan-Nya dan keesaan-Nya. Tuhan yang Esa inilah yang mengemanasikan alam semesta karena kesempurnaan-Nya. Kesempurnaan dan ke-Esa-an Tuhan itu harus dilihat dari sisi perbuatan-Nya sejak azali. Karena kalo tidak dipahami demikian, maka ada saat di mana Tuhan harus mengatur pada zaman tertentu, sebelum Dia memutuskan diri untuk menciptakan alam semesta ini. Tuhan yang mengatur rupanya susah terbayangkan oleh Ibn Rusyd.Terkait dengan ke-Esa-an Tuhan, Ibn Rusyd memahami bahwa yang melimpah dari Tuhan yang Esa tidak harus satu, tetapi juga lebih dari satu.[12]
Untuk mendukung pendapatnya ini, Ibn Rusyd mengungkapkan perbedaan mendasar antara Tuhan dengan manusia dalam melakukan suatu aktivitas/perbuatan. Ibn Rusyd mengatakan sesungguhnya ada perbedaan antara Pembuat Pertama (Tuhan) dengan pembuat yang nyata (manusia). Dalam proses penciptaan, alam semesta ini melimpah dari Tuhan yang Esa. Tuhan tidak hanya melimpahkan yang satu saja, tetapi terdapat multiplisitas limpahan yang terjadi, sebagai efek multiple dari tindakan Tuhan yang Esa itu. Menurut Ibn Rusyd, tindakan Tuhan semacam itu harus dibedakan dengan tindakan manusia. Manusia hanya mungkin melakukan sekali tindakan dengan satu efek tindakan yang telah dibuatnya. Tetapi untuk Tuhan, dengan sekali tindakan, dapat menghasilkan beragam efek dari tindakan yang telah diperbuat-Nya. Dengan alasan ini, akhirnya Ibn Rusyd menolak pemahaman para pemikir teori emanasi pada umumnya yang menyatakan bahwa dari yang Satu, Esa, hanya melimpah satu. Ibn Rusyd sekali lagi secara tegas mengatakan bahwa Tuhan dalam keharusan-Nya menyebabkan segala sesuatu secara serentak, tanpa ada perantara lain selain Dia. Dalam bukunya, Tahafut-al-Tahafut, Ibn Rusyd menunjukkan bahwa pembuat yang Esa itu menyebabkan alam semesta dengan keanekaragaman realitas particular di dalamnya.[13]
Ibnu Rusyd berusaha mempertemukan agama dengan filsafat dengan membela keduanya. Dalam hal ini Ibnu Rush bertolak pada dua persoalan utama: pertama, pandangan syari’at terhadap hukum mempelajari logika dan falsafat yang dimaksud untuk membela filsafat, dan kedua, metode memahami Al-Qur’an sebagai sumber asasi syari’at yang dimaksud untuk membela syariat. Untuk menjawab kedua persoalan tersebut, Ibnu Rusyd menelusuri ayat-ayat al-Qur’an tentang hukum bagaimana mempelajari logika dan filsafat. Dia menemukan bukti beberapa ayat yang menyerukan penggunaan akal untuk meneliti secara rasional argumentatif mengenai realitas materiil maupun nonmateriil sebagai representasi kreasi Tuhan. Berdasarkan penemuan tersebut, Ibnu Rusy menyimpulkan bahwa syari’at menganjurkan manusia untuk mempelajari filsafat dan mencoba menggunakannya dalam meneliti realitas. Hal ini sejalan dengan argument filsafatnya yang berpijak pada realitas alam nyata menuju realitas alam tidak nyata. Semakin mendalam pemahaman filsafat seseorang, semakin dalam pula dia Tuhan karena realitas merpakan reperesentasi kreasi Tuhan.[14]
Ibnu Rusyd membedakan antara logika dan filsafat. Logika diposisikan sebagai alat filsafat, sedangkan filsafat diposisikan sebagai hasil dari kreasi logika. Penegasan ini sejalan dengan pandangannya Aristoteles yang menjadikan logika sebagai alat filasafat, bukan sebagai bagian dari disiplin filsafat.  Itu terlihat dari konsepnya tentang pembagian ilmu pengetahuan. Aristoteles membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga jenis, yaitu pengetahuan praktis, pengetahuan teoritis, dan pengetahuan produktif. Pengetahuan pertama meliputi etika dan politik, pengetahuan kedua meliputi fisika, metafisika dan matematika, dan pengetahuan ketiga meliputi pengetahuan yang menghasilkan karya tehnik produktif.[15]
Ibnu Rusyd menggunakan sudut pandang “hukum syar’iat” dalam melihat status logika dan filasafat. Hukum syari’at yang dimaksud adalah hasil ijitihat para ahli hukum Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber syariat, terkait dengan perbuatan mukallaf yang pada umumnya berkisar pada hukum wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Ini terkait dengan tujuan penulisan buku Fashal al-Maqal, yaitu:  untuk meneliti dari sudut pandang syari’at apakah penalaran (an-nazhr) dalam filasafat dan ilmu-ilmu logika itu mubah hukumnya, dilarang, atau diperintahkan, baik perintah yang bersifat sunnah ataupun perintah yang bersifat wajib.
Di dalam Al-Qur’an, banyak didapati ayat-ayat yang menyuruh manusia mengetahui Allah melalui penalaran dan perenungan terhadap alam. Yang dimaksud perenungan dan penalaran di sini adalah logika dan filsafat. Ibnu Rusyd menampilkan ayat-ayat yang berbicara tentang hal tersebut, yaitu pertama, ayat yang mendorong manusia merenungkan maujud-maujud seperti ayat dalam QS  al-A’raf (7): 185 yang artinya”Apakah mereka tidak memperhatikan segala yang ada di langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah”, QS al-Ghasyiyyah (88): 17 “Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan serta bagaimana langit ditinggikan”, di QS Ali Imran (3): 191 “Dan mereka (orang-orang mukmin) memikirkan kejadian langit dan bumi”, kedua,  ayat al-Qur’an yang menganjurkan penggunaan akal dalam merenungkan maujud-maujud seperti ayat “Maka berpikirlah wahai orang-orang yang berakal budi”, dan “Maka ambillah ibarat wahai ulil abshar”. Ungkapan “berpikirlah kalian” menandakan keharusan penggunaan akal. Begitu pula dengan kalimat “ambillah i’tibar”  kata i’tibar menurut istilah para ahli kalam dan fuqaha disebut qiyas. Mengambil i’tibar dari sesuatu yang sudah diketahui kepada sesuatu yang belum diketahui.  Menurut Ibn Rusyd yang dimaksud dengan akal dalam ayat-ayat al-Qur’an tersebut berkaitan dengan “aktivitasnya”, yakni penggunaan metode berpikir qiyas rasional ( qiyas demonstratif ) dan qiyas syar’i (qiyas sederhana, yakni mengukur sesuatu yang tidak ada hukumnya).  Dia memandang wajib hukumnya menggunakan kedua metode berpikir logis berdasar syari’at.[16]
Dalam pemikiran Ibnu rusyd, ayat-ayat al-Qur’an tak ubahnya seperti alam natural. Dalam alam natural, apa yang diterima oleh panca indera tidak sepenuhya kebenaran mutlak. Adakalanya hal ini tidak seiring dengan pembuktian ilmiah. Dalam konteks semacam ini, maka kebenaran yang harus diterima oleh orang yang mampu melakukan pembuktian tersebut adalah informasi yang diperoleh melalui nalar demonstratif, bukan apa yang telah diberikan langsung oleh panca indera. Sebab apa yang diberikan oleh panca indera terkadang menyesatkan dan menyeret pada kemungkaran. walaupun demikian, mempublikasikan informasi yang diperoleh melalui nalar demonstratif kepada masyarakat umum adalah perbuatan yang menyalahi etika intelektual. Masyarakat umum tidak mampu mencerna argumentasi deminstratif dengan baik sehingga argumentasi tersebut tidak akan membawa kejelasan kepada mereka, dan justeru sebaliknya akan membawa pada keraguan. [17] Ibnu Rusyd  berpendapat bahwa mempelajari filasafat bagi orang yang memiliki kemampuan meneliti alam secara demonstratif  adalah wajib hukumnya menurut syar’i.[18]
Secara metodologis, filasafat dan syariat sama-sama menjadikan dalil  al-Qur’an mendorong masyarakat menggunakan akal dalam mengkaji mawjud dalam bentuk metode qiyas rasional dan qiyas syar’i. Begitu juga ada kesamaan dalam tujuan keduanya.   Filsafat teoritis bertujuan menumbuhkan keyakinan mendalam terhadap persoalan-persoalan teoritis terutama terkait dengan pengetahuan terhadap wujud mutlak misalnya ilmu tauhid sedangkan filsafat praksis bertujuan untuk memperbaiki kehidupan praksis manusia dan menemukan kebenaran tentang suatu perkatra yang eksistensinya berhubungan dengan manusia agar mencapai sesuatu yang lebih baik dalam kehidupan praktis. Adapun  syari’at, Ibnu Rusyd menilai terdapat dua ajaran didalamnya, yaitu: pertama, ajaran bersifat teoritis, di sini syari’at membahas persoalan-persoalan teoritis seperti mengetahui Tuhan sebagai wujud mutlak dan keberadaan wujud-wujud lainnya dari wujud mutlak. Tujuan ajaran yang bersifat teoritis ini adalah untuk menumbuhkan keyakinan mendalam pada diri manusia akan wujud mutlak dan unsur-unsur lainnya yang berkaitan denganNya.  Kedua,  ajaran yang bersifat praktis. Di sini syari’at menganjurkan manusia untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan yang bisa membawanya ke arah kebahagiaan dan menjauhi kesengsaraan. Ajaran praktis tersebut tentu harus dipandu dengan ajaran yang benar secara teoritis sehingga amal praktis senantiasa seuai dengan amal teoritisnya.[19]
Dengan menampilkan kesamaan filsafat dan syari’at, baik dari segi metode, objek dan tujuannnya, Ibnu Rusyd hendak membuktikan bahwa al-Qur’an sebagai sumber asasi syari’at sama sekali tidak melarang logika dan filsafat, sebaliknya al-Qur’an mewajibkan masyarakat yang berkemampuan berpikir demonstratif untuk berfilsafah dengan merenungi alam nyata agar samapai pada pengetahuan tentang Wujud Mutlak yang menciptakan alam nyata.[20]
D.    Relasi Agama dan Sains
1.      Wahyu dan Realitas sebagai Sumber Pengetahuan
Agama dan sains, merupakan dua bagian penting dalam kehidupan sejarah umat manusia. Bahkan pertentangan antara agama dan sains tak perlu terjadi jika kita mau belajar mempertemukan ide-ide spiritualitas agama dengan sains yang sebenarnya sudah berlangsung lama. Kerinduan akan tersintesisnya agama dan sains pernah diurai Charles Percy Snow dalam ceramahnya di Universitas Cambridge yang dibukukan dengan judul The Two Cultures yang menyorot kesenjangan antar budaya, yaitu antara kelompok agamawan yang mewakili budaya literer dan kelompok saintis yang mewakili budaya ilmiah.[21]
Al-Qur’an merupakan sumber intelektualitas dan spritualitas  Islam. Ia merupakan basis bukan hanya bagi agama dan pengetahuan spritual tetapi bagi semua jenis pengetahuan. Ia merupakan sumber utama inspirasi pandangan muslim  tentang keterpaduan  sains dan pengetahuan spritual.
Al-Qur’an bukanlah kitab sains, tetapi ia memberikan pengetahuan tentang prinsip-prinsip sains, yang selalu dikaitkannya dengan pengetahuan metafisik dan spritual. Panggilan al-Qur’an untuk “membaca dengan nama Tuhanmu” telah ditaati secara setia oleh setiap generasi muslim. Perintah itu telah dipahami  dengan pengertian bahwa pencarian pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah harus didasarkan pada  pondasi pengetahuan kita tentang realitas Tuhan.  Menurut Ibnu Sina, sains disebut sains yang sejati jika  ia menghubungkan pengetahuan tentang dunia dengan pengetahuan tentang prinsip ilahi.[22]
Ilmuwan-ilmuwan muslim akan percaya sepenuhnya bahwa sumber dari segala ilmu adalah Allah, Tuhan yang sering disebut Sang Kebenar (al-Haqq) atau ada juga yang menyebutnyaTthe Ultimate Reality (realitas sejati). Karena tujuan dari ilmu adalah untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, yang berarti untuk mengetahui kebenaran sejati, maka Tuhan sebagai kebenaran sejati tentu merupakan sumber bagi segala kebenaran lainnya. Termasuk kebenaran atau realitas-realitas ilmu. Dengan demikian, ilmuwan-ilmuwan muslim sepakat bahwa sumber ilmu atau lebih tepatnya sumber asli/terakhir ilmu adalah Allah sendiri, Sang Kebenaran. [23]
Ibnu khaldun mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama didasarkan pada “otoritas”, bukan akal. Yang dimaksud otoritas di sini adalah al-Qur’an dan  al-Hadits yang bertindak sebagai tafsir atasnya. Jadi sumber-sumber ilmu agama adalah kitab suci yang diwahyukan secara langsung kepada Nabi dan RasulNya. Adapun sumber dari ilmu-ilmu umum adalah alam semesta yang terhampar luar hingga atom-atom yang sangat kecil. Yang menarik adalah pernyataan Tuhan sendiri yang memandang baik al-Qur’an maupun alam semesta sebagai “tanda-tanda (ayat) Tuhan”. Dengan demikian jelas bahwa ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum sebenarnya sama-sama mengkaji “ayatt-ayat Allah”, hanya saja yang pertama mengkaji ayat-ayat qauliyah, yang kedua ayat-ayat kauniyyah. Karena sama-sama tanda (ayat) Allah, keduanya merujuk  atau menunjukkan realitas sejati yang sama, Allah, sebagai sumber kebenaran. Dialah realitas yang menjadi objek penelitian setiap ilmu, baik yang bersifat naqliyyah maupun  aqliyyah.[24]  Oleh karena itu sebagai  tanda-tanda ilahi, alam semesta sebagai realitas wujud tidak bisa kita pandang sebagai realitas-realitas independen yang tidak punya kaitan apapun dengan realitas-realitas yang lebih tinggi.
Wahyu dan realitas wujud ini juga yang menjadi sumber pengetahuan menurut Ibnu Rusyd. Dua bentuk sumber ini masing-masing melahirkan disiplin ilmu yang berbeda. Realitas wujud melahirkan ilmu dan filsafat sedang wahyu memunculkan ilmu-ilmu agama. Meski demikian menurut Ibn Rusyd, dua macam sumber pengetahuan tersebut tidak bertentangan melainkan selaras dan berkaitan karena keduanya adalah benar dan mengajak kepada kebenaran.[25] Lihat gambar berikut:

Pengetahuan

            Wahyu                                                               Realitas Wujud

Ilmu-ilmu keagamaan              Wujud Rasional                       Wujud Material
                                         (ma’qulat)                                 (mahsusat)
 

                                        Filsafat (hikmah)                         Ilmu (‘ilm)

2.      Mempertemukan Wahyu dengan Rasio
Secara umum, Ibnu Rusyd memaknai wahyu lebih sebagai hikmah (kebijaksanaan) yang diartikan sebagai”pengetahuan tertinggi tentang eksisitensi-eksistensi spritual”. Melalui hikmah seorang nabi mampu mengetahui kebahagian hakiki berkaitan dengan kehidupan akhirat atau kehidupan sesuadah mati. Berdasarkan hal tersebut, diturunkanlah syari’at kepada manusia  demi mencapai kebahagiaan yang dimaksud. Materi ajaran syariat terdiri dari dua hal, yaitu: ajaran tentang ilmu benar (al-ilmu al-haq) dan ajaran tentang perbuatan yang benar (al-‘amal al-haq). Ilmu yang benar adalah ilmu pengetahuan yang mengenalkan manusia dengan Tuhannya sebagai Dzat yang Maha Suci dan Maha Tinggi, mengenalkan kepada segala bentuk realitas wujud sebagaimana adanya terutama wujud-wujud mulia yang bersifat metafisik, dan mengenalkan pada pahala dan siksa di akhirat. Adapun perbuatan yang benar adalah perbuatan yang akan membawa kepda kebahagiaan dan menjauhkan dari penderitaan. Perbuatan-perbuatan yang benar itu sendiri terbagi dua: 1) perbuatan-perbuatan lahir yang bersifat fisik sebagaimana yang tercantum dalam aturan-aturan hukum fiqh, 2) perbuatan-perbuatan yang bersifat psikis dan spritual, seperti rasa syukur, sabar dan bentuk-bentuk moral etika lain yang diajarkan syariat yang kemudian dikenal dengan prilaku zuhud. [26]
Adapun penalaran rasional, menurut Ibnu Rusyd tidak akan bertentangan dengan syari’at. Hal ini dapat terjadi karena penalaran rasional yang sesungguhnya bukanlah sesuatu yang di luar ajaran syari’at melainkan justeru perintah syari’at. Banyaknya ayat-ayat yang menyuruh kita melakukan nazdar secara rasional terhadap bentuk realitas untuk kemudian mengambil pelajaran  darinya. Jika demikian, jika syari’at  diyakini benar adanya dan kenyataannya ia memerintahkan  pada penalaran rasional yang akan menggiringi kepada pengetahuan yang benar juga, maka penalaran rasional tidak mungkin bertentangan dengan syar’at, sebab kebenaran yang satu tidak mungkin bertentangan dengan syari’at, sebab kebenaran yang satu tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran lainnya, justeru saling mendukung. Karena itu Ibnu Rusyd menolak keras pendapat al-Ghazali  dan orang-orang yang melarang belajar filsafat dan pemikiran rasional dengan alasan hasilnya akan bertentangan dengan syari’at atau karena adanya kasus-kasus yang memunculkan penyimpangan. Menurut Ibnu Rusyd, penalaran rasional yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan mendalam tidak mungkin menghasilkan sesuatu yang bertentangan. Adapun penyimpangan yang terjadi pada beberapa orang hanyalah bersifat kasuistik sehingga tidak dapat digeneralisir. [27]
Dalam membela filsafat, Ibnu Rusyd berusaha menyatakan bahwa berfikir secara filosofis tidak lebih dari sekedar memikirkan alam semesta. Secara tegas Allah memerintahkan hambanya untuk memikirkan alam semesta demi mencapai keimanan yang sempurna. Apabila memikirkan alam semesta dengan segala isinya merupakan perintah  Allah, sedangkan mekanisme yang paling utama dalam memikirkan itu semua adalah nalar demonstratif, maka nalar demonstratif tidak mungkin digunakan secara langsung oleh manusia dengan sempurna tetapi dia memerlukan pembelajaran yang serius terhadap pernak-pernik yang ada didalamnya.[28]
Untuk memahami pernak pernik dalam pengetahuan tersebut tentunya memerlukan ilmu logika meski ilmu logika sendiri hanyalah kumpulan metodologi yang berfungsi sebagai perantara dalam memahami sesuatu. Perantara dapat diambil dari mana saja dan dari siapa saja. Karena itu mempelajari ilmu logika tidaklah bid’ah lantaran tidak dikenal di masa Islam pertama. Ushul Fikih merupakan salah satu ilmu yang juga tidak dikenal pada masa itu. Apabila ilmu Ushul Fikih tidak dianggap bid’ah, maka ilmu logika  juga bukan bid’ah. Dengan demikian, hukum mempelajari logika yyang identik dengan filsafat dalam pandangan syari’ah Islam sendiri adalah wajib jika tujuannya sebagaimana yang dianjurkan syari’ah. [29]
Keyakinan tidak adanya pertentangan antara  hasil penalaran rasional filosofis dengan wahyu tersebut juga terjadi dalam kaitannya dengan sains atau ilmu-ilmu kealaman. Menurut Ibn Rusyd, berkaitan dengan sains ini, syari’at mempunyai dua sikap, yaitu: menjelaskan atau tidak menyinggung sama sekali. Ketika syari’at tidak menyinggungnya berarti tidak ada masalah. Keberadaannya sama seperti fenomena hukum yang belum dibicarakan oleh syari’at yang kemudian menjadi tugas ahli fiqh untuk menyimpulkannya melalui analogi (qiyas syar’i). Artinya ilmu-ilmu kealaman yang belum dibicarakan syari’at berarti menjadi tanggung jawab kaum saintist untuk melakukan eksplorasi dan menguraikannya lewat metode-metode ilmiah. Sebaliknya jika syari’at menjelaskan, kemungkinannya ada dua,yaitu: sesuai dengan hasil yang diberikan sains atau bertentangan dengannya. Jika sesuai berarti tidak ada masalah, tetapi jika bertentangan maka hal itu dapat diseleraskan dengan cara dilakukan takwil atas makna zhahir yang dikandung syari’at.  Di sini Ibnu Rusyd menegaskan penggunaan takwil hanya untuk orang-orang yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, dan tidak boleh boleh disampaikan kepada semua orang lebih-lebih masyarakat awam karena dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekafiran.[30]
3.      Tujuan Pengetahuan untuk mengenal Tuhan
Pengetahuan yang diperoleh baik lewat ayat-ayat naqliyah maupun aqliyyah, bertujuan untuk mengenal Tuhan (al-Haqq) Sang Kebenaran. Dalam tradisi filsafat humaniora klasik, argumen-argumen mengenai keberadaan Allah biasanya berpangkal pada tiga hingga lima kategori, yaitu: argumen kosmoslogis, argumen ontologis, argumen teologis , argumen moral dan argumen pengalaman spritual.  
Argumen kosmologis yang pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles dan belakangan diadopsi oleh filsuf ternama diantaranya  al-Kindi, Ibn Rusyd dan Thomas Aquinus.  Rumusan-rumusan ini pada dasarnya menegaskan bahwa kebenaran dunia dapat ditelusuti dari satu sebab ke sebab lain dan begitu seterusnya, tetapi penelurusan balik ini tidak dapat dilanjutkan terus menerus tanpa batas waktu karena harus berhenti pada penyebab pertama, yakni Tuhan sang Pencipta.  Argumen ontologi berisi bahwa kemampuan manusia Tuhan sang Pencipta memungkinkan mereka menganggap sesuatu hal terhebat yang bisa dibayangkan. Namun keberadaan Tuhan dalam realitas lebih superior dibandingkan keberadaannya dalam pikiran, maka zat yang Agung (Tuhan) harus ada, baik dalam pikiran maupun realitas. Argumen teologis adalah argumen yang paling sederhana. Gagasan dasar dalam argumen ini adalah ketidakmungkinan mengamati semua kerumitan, keagungan, dan keselaran (internal dan relasional) dari semua ciptaan tanpa memikirkan adanya sesosok pencipta yang kuat dan cerdas dibalik semua ciptaan tersebut. argumen moral berhubungan dengan dua hal: ‘hukum moral manusia’ dan ‘kemenangan akhir di pihak yang baik’. Dengan demikian diperlukan Tuhan untuk memberi makna dan keputusan dalam kehidupan kita. Argumen terakhir, pengalaman spritual adalah pengakuan terhadap keberadaan beragam pengalaman spiritual yang dilaporkan manusia. Beberapa pandangan melihat bahwa argumen ini mengarah kepada keberadaan suatu sumber atau saluran spiritual yang nyata.[31]
Menurut al-Sayyid Sabiq pengetahuan tentang Allah muncul dari dua pendekatan, yakni dari rasio/eksplorasi ilmiah dan dari pemahaman yang tepat atas nama-nama atau sifat-sifatnya.  Pemikiran rasional mengacu pada banyaknya perintah Allah untuk merenung (yatafakkaruun, QS 3: 191) dan memahami (ya’qiluun, QS 2: 242). Sabiq menegaskan bahwa kepercayaan harus muncul dari pembuktian rasional. Ia juga mengutip argumen-argumen al-Qur’an yang menolak konformisme (taklid buta) yang merupakan sikap orang-orang kafir. Ia juga menegaskan bahwa refleksi harus dilakukan terhadap ciptaan dan tanda-tanda keberadaan Tuhan  (alam dan wahyu), bukan pada Tuhan sendiri.[32]
Kajian ilmu dan sains juga tidak boleh berhenti pada bentuk dan materi fisiknya melainkan jauh sampai pada hakikatnya. Menurut Ibnu Rusyd realitas wujud itu terdiri dari tiga prinsip: materi, bentuk, dan keseluruhan atau gabungan atas materi dan bentuk. Keseluruhan   materi  dan bentuk ini bersifat universalitas (mencakup esensi sekaligus materi). Berdasarkan kajian realitas tersebut, seseorang akan akan sampai pada Tuhan, mengenal keagungannya dan kemahakuasaanNya dan pengetahuan tentang Tuhan memang hanya dapat dicapai dengan mengkaji objek-objek riil alam ciptaannya.[33]
Untuk membuktikan wujud atau adanya Tuhan, Ibn Rusyd mengajukan tiga dalil: dalil al-Inayah, dalil al-Ikhtira’ dan dalil al-Harakah. Pada dalil al-Inayah dinyatakan bahwa apabila manusia dengan akal pikirannya mau memperhatikan alam semesta ini, maka akan ditemukan adanya persesuaian antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Dengan indah sekali Al-Quran surat al-Naba’ ayat 6 sampai 16 menyatakan betapa teratur dan harmonisnya hubungan antar makhluk yang bila direnungkan akan menimbulkan keyakinan adanya Pengatur semuanya itu. Persesuaian dan keteraturan alam semesta ini bukan terjadi dengan sendiri atau secara kebetulan saja, tetapi menunjukkan adanya Dzat Pencipta dan Pengatur dan itulah Tuhan Allah.
Dalil al-Ikhtira’ menyatakan bahwa segala kejadian dan setiap jenis dan macam makhluk di dunia ini terdapat gejala yang berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya. Namun semuanya berfungsi sebagaimana mestinya. Semakin tinggi tingkatan sesuatu maka semakin tinggi pula daya kemampuan serta tugasnya. Hal ini mendorong manusia untuk menyelidiki rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya, sebagaimana tersurat dalam Al-Quran antara lain dalam surat al-Thariq ayat 5 dan 6. Kesemua macam aneka ragam yang ada dalam alam semesta ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang ada yang menciptakan dan mengaturnya yaitu Tuhan.
Yang ketiga adalah dalil al-Harakah. Dalil ini jelas sekali adanya pengaruh dari Aristoteles yaitu tentang Penggerak Pertama (al-muharrik al-awwal) yang dipandang sebagai Penyebab Pertama(Prima Causa) adanya gerak. Menurut Ibnu Rusyd, alam semesta ini bergerak secara teratur secara terus menerus dengan gerakan yang abadi. Gerakan ini menunjukkan adanya penggerak, sebab adal suatu yang mustahil bila benda bergerak dengan sendirinya. Penggerak Pertama inilah yang namanya Tuhan, sungguhpun dia sendiri tidak bergerak.
Di antara dalil-dalil tersebut diatas ada yang persis sama dengan yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas(1225-1274) seperti yang ditulis oleh Harun Hadiwijono dalam bukunya Sari Sejarah Filsafat Barat I.[34]
Menurut Ibn Rusyd, pembuktian atau dalil=dalil dari hasil penelitian lebih argumentatif dan lebih dapat diterima masyarakat, kaum terpelajar maupun umum. Dengan demikian arah pengetahuan dan sains adalah dalam rangka mengenal eksistensi Tuhan, memahami keuasaan dan keagunganNya sehingga pengetahuan dan sains akan menambah keimanan terhadap Tuhan. Validitas sebuah pengetahuan berkontribusi terhadap keimanan dan pengenalan Tuhan.[35]
E.     PENUTUP
Nilai progresifitas pemikirian  Ibnu Rusyd terlihat dari upayanya menyelesaikan problem antara agama dan filsafat yang ia selesaikan melalui mekanisme pentakwilan terhadap wahyu Tuhan. Ibn Rusyd memberi penjelasan bahwa kesibukan dengan filsafat tidaklah membuat aqidah dan agama menjadi rusak. Sebab filsafat tidaklah bertentangan dengan agama, sedang agama tidak mengingkari filsafat, bahkan justru menganjurkan dan menyerukannya, karena agama memerintahkan untuk meneliti dan merenungkan alam rayaa (al falaq, kosmos), jiwa-jiwa, wujud-wujud ( eksistensi ). Secara umum berfilsafat itu tak lain adalah meneliti wujud-wujud dari sisi penunjukannya atas adanya Pencipta. Dengan  filsafat, seseorang  memikirkan maujud agar membawa kepada ma’rifat pada Allah. Al-Qur’an sendiri  dengan berbagai ayatnya menganjurkan manusia untuk bernazhar. Kalau pun terjadi penyimpangan atau  kelihatannya ketidakserasian antara zhahir nash wahyu dengan hasil nazhar (filsafat) itu, maka jalan keluarnya adalah dengan jalan ta’wil (yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi). Ibnu Rusyd berhasil menempatkan filsafat sebagai bagian dari keberagamaan yang tidak perlu dipertentangkan. Namun demikian, Ibnu Rusyd tetap memberikan otoritas kepada wahyu di atas filsafat, sehingga dengan demikian Ibnu Rusyd sesungguhnya bukanlah rasionalis tulen yang menafikan wahyu. Melalui  agama, filsafat dan pengetahuan seseorang dapat mengenal keagungan Tuhan dan kekuasaanNYa  dan mendapati  kebenaranNya.


DAFTAR PUSTAKA



Abdul Maqsud Abdul Ghani Abdul Maqsud, Agama dan Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Ahmad Daudy, “Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam”,Jakarta, Bulan Bintang, 1984.
Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rsusyd Kritik Ideologis Hermeneutis , Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang, 2009.
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta : Kanisius,1980.
Ibnu Rusyd, Tahafut at-Tahafut Sanggahan terhadap Tahafut al-Falasifah, ter. Khalifurrahman Fath, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  2004.
Khudori Saleh, Epistemologi Ibnu Rusyd Upaya Mempertemukan Agama & Filsafat,Malang: UIN Maliki Press, 2012.
Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
M. Subkhan Anshori, Filsafat Islam antara Ilmu dan Kepentingan,  Kediri: Pustaka Azhar, 2011.
Nidhal Guessoum, Islam dan Sains Modern,  terj: Maufur, Bandung: Mizan Media Utama, 2011.
Osman Bakar, Tauhid dan Sains Esai-Esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Sirajuddin, Filsafat Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Semarang; Dina Utama Semarang, 1993.




[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h. 255
[2] Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004 h.
[3] Ibnu Rusyd, Tahafut at-Tahafut Sanggahan terhadap Tahafut al-Falasifah, ter. Khalifurrahman Fath, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  2004, h. 2
[4] Khudori Saleh, Epistemologi Ibnu Rusyd Upaya Mempertemukan Agama & Filsafat,Malang: UIN Maliki Press, 2012,h. 17
[5] Khudori Saleh, Epistemologi..., h. 23
[6] Khudori Saleh, Epistemologi..., h. 31
[7]Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Semarang; Dina Utama Semarang, 1993, h.86
[8] Sirajuddin, Filsafat Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, h. 224
[9] M. Subkhan Anshori, Filsafat Islam antara Ilmu dan Kepentingan,  Kediri: Pustaka Azhar, 2011, H. 167
[10] Abdul Maqsud Abdul Ghani Abdul Maqsud, Agama dan Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, h. 68
[11] M. Subkhan Anshori, Filsafat Islam..., h. 167
[12]Ahmad Daudy,  Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam”,Jakarta, Bulan Bintang, 1984, h. .5-6.
[13] Ahmad Daudy, ,  Segi-segi Pemikiran....,h.31.
[14] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rsusyd Kritik Ideologis Hermeneutis, Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang, 2009, h. . 5
[15] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur’an...., h. 75-76
[16] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur’an...., h. 117-118
[17] M. Subkhan Anshori, Filsafat Islam..., h. 164-165
[18] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur’an...., h. 127
[19] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur’an...., h. 128
[20] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur’an...., h.129
[21] Mehdi Golshani, Issues in Islam and Science, Institute for Humanities and Cultural Studies Teheran, Iran, terj. Ahsin Muhammad, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains, Tafsir Islami atas Sains , h 12
[22]Osman Bakar, Tauhid dan Sains Esai-Esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994, h. 74-75
[23] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu...., h. 46-47
[24] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu...., h. 48
[25] Khudori Saleh, Epistemologi..., h. 58
[26] Khudori Saleh, Epistemologi..., h. 81
[27] Khudori Saleh, Epistemologi..., h. 83
[28] M. Subkhan Anshori, Filsafat Islam...,168
[29] Ibnu Rusyd, Fasl Maqal...., h. 60
[30] Khudori Saleh, Epistemologi..., h. 86
[31] Nidhal Guessoum, Islam dan Sains Modern,  terj: Maufur, Bandung: Mizan Media Utama, 2011, H. 80-81
[32] Nidhal Guessoum, Islam dan Sains Modern, ....., h. 83
[33] Khudori Saleh, Epistemologi..., h. 130-131
[34] Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat I, ( Yogyakarta : Kanisius,1980)hal.107

[35] Khudori Saleh, Epistemologi..., h. 132-133

1 comment:

  1. Saya sedang mencari referensi terkait seputar materi bahasa arab. Sangat membantu sekali tulisan ini. Semoga bermanfaat.

    ReplyDelete